Friday, July 4, 2008

My picture



"Back to your home country,"













"let the light give you direction in this world"

Puncak Hidup....


Aku bediri mematung saat menatap indahnya pantai dan gunung yang menjulang tinggi. Pantai yang indah disalah satu sudut negri Timor Leste ini membuatku terkagum. Hembusan angin dan derapan kaki para pendatang menaiki tangga kearah patung Cristo Rei.

Siang itu udara panas tidak terkendali, hembusan angin di pucuk gunung dengan patung seorang juru slamat yang membuka tannganNya untuk menyambut setiap orang yang datang ke tempat ini.

Sejenak ku tatap alam yang indah di pulau ini, hamparan air laut di bawah sana, biru dengan kilauan cahaya matahari yang terpantul olehnya, gunung yang menjulang tinggi semakin memperlengkapi keindahan alam ini. Kekagumanku akan cipataan Tuhan tidak akan pernah habis ketika melihat alam yang begitu memesona setiap pengunjung.

Baru aku sadari bahwa nama Dilli itu berarti disini ada pantai, dan memang benar pantai di negri yang baru merdeka ini dipenuhi dengan pemandangan yang luar bisa.

Ucapan syukur mungkin takan pernah habis untuk melihat kekayaan pulau ini, dari ujung barat ke ujung timur semua di hiasi dengan pantai yang indah dan eksotik.

Tapi apa keindahan ini milik semua orang Timor Leste? entahlah….

Sejenak aku tekejut melihat begitu banyak orang asing yang tinggal di kota Dilli. Aku terkejut ketika ada di pantai “pasir putih”, berjajar pantat manusia dari negri lain, menikamati indahnya alam di pulau yang berarti matahari terbit ini. Sejenak aku sadar bahwa orang asing lebih mendominan setipa sudut kota ini, bayangkan orang pribumi mereka berenang jauh dari tempat yang berair jernih dan nyaman, sedangkan manusia pendatang mereka asik duduk dengan memamerkan pantat dan buah dada mereka di pinggir pantai yang jernih dan indah, bukankan ini dapat di katakan DISKRIMINASI –mungkin saja, terserah anda melihat dari mana-.


Kini aku berdiri tepat di puncak gunung yang memiliki patung Yesus,aku ternganga ketika aku tahu aku ada diatas kepala berpuluh manusia di di bawah sana-di puncak hidup, dalam pikirku-. Anggan ku melayang membayangakan aku ada di atas puncak kehidupanku, aku seakan terbang jauh menembus awan tanpa rasa takut dan kegetiran hidup.

Kadang dalam kehidupan kita, kita ingin sekali berada di atas puncak kenikmatan hidup ini, dimana semua yang terjadi dalam hidup kita adalah kesenangan belaka, tapi apa itu namanya hidup???, meraih segala kenikamatan hidup dengan mengorbankan kehidupan orang lain?????

Diskriminasi yang kulihat disini, membuka mataku bahwa di puncak kehidapan dengan menghapus kebebasan orang lain adalah kenisataan hidup yang patut di hapuskan. Dan aku telah belajar olehnya.

“Hidup adalah berkat maka nikmatilah hidup itu”

Journey to Bali


GARUDA WISNU KENCANA (GWK) BALI

Perjalananku waktu itu cukup singkat, hanya dua hari tinggal di pulau Bali. Yang banyak orang katakan pulaunya para dewata.
Penerbanganku dari kupang, NTT dengan pesawat Merpati Air cukup menegangkan. Berawal dari bandara El-tari, Kupang. Penerbangan sempat tertunda kerena cuaca,dan itu cukup aku pahami, karena demi keslamatan penumpang pikirku. Penerbangan hanya memakan waktu dua jam dan sampai di bendara internasiaonal Ngurah Rai. Aku sedikit terkagum dengan kebersihan bandara ini, yang jelas sebagai warga Negara Indonesia aku sedikit bangga dengan kebersihan yang ada.

Ketika sampai aku di jemput oleh salah satu orang tua temanku, Pak Agung namanya. Beliau ramah sekali dan aku merasa nyaman dengan beliau. Ketika perjalanan ke hotel, aku melihat para bule sedang memamerkan pantat mereka di ruas jalan ke pantai kuta. Aku tertegun melihat semuanya itu. sampai di hotel aku segera istirahat dan malam ini aku akan bertemu dengan temanku dari Amerika, Steve namanya. Dan aku sudah dua tahun tidak saling ketemu.
Saat pertemuanku dengan nya di bali, aku sungguh tidak percaya. Dan dua hari itu aku gunakan untuk bercerita dan cari informasi tentang ke adaan Amerika sana.

Dan pada hari berikutnya, akhirnya perjalanan kami di mulai, pertama-tama. Kami keluar kejalan melintasi ruas jalan pulau bali yang ramai oleh para turis asing. Mobil kami melewati jalan mendaki dan kearah perbukitan. Dan tujuan peratama kami adalah GWK (Garuda Wisnu Kencana).

Mobil kami masuk ke daerah dataran tinggi dan berbatu. Aku mulai merasakan kekaguman akan alam pulau bali ini, dentingan musik traidisional khas bali membuat ku merinding, -aku paling suka dengan semua yang berhubungan dengan tradisioanal, baju, musik ampek tarian-.

Kami melangkah ke luar dari mobildan mendapatkan sebuah patung raksasa. Patung seorang pahlawan dalam ajaran hindu, tepat sang Wisnu terpahat dengan kokohnya dengan aliran air di bawahnya. Aku terkagum melihat patung itu dan mersakan betapam megahnya patung raksasa itu.

Aku mengamati patung itu dengan seksama, dan takjub olehnya. Setelah melihat patung san Wisnu itu aku kami melangkah turun dan mendapati patung yang tak kalah besarnya, patung yang direncanakan akan menopang tubuh sang Wisnu. Seekor burung raksasa hampir jadi berdiri kokoh di depannku. Burung garuda itu yang akan di letakkan di bawah patung sang Wisnu. Dihadapan patung Garuda itu, terhampat pelataran luas yang di kanan kirinya berdiri batu-batu besar yang membuat pemandangan semakin menarik. Manapakki jalan dalam area GWK ini membuatku terkagum dengan alam pulau bali yang mengasikkan.

Dalam benakku, aku berfikir bahwa semua karunia alam ini mungkin akan suatu saat akan berakhir, dan kepunahan itu akan segera tiba jika kita sebagai manusia tidak menjaganya.

Apakah kita siap melihat alam indah permai milik Indonesia punah dalam tangan kita?-entahlah-

Kami terus melangkah dan melangkah sampai pada akhirnya, kami di bawa ke suatu kuil di atas tebing. Dan saat itulah aku tersadar kita wajib bersyukur atas limpahan berkatnya di tanah Indonesia ini.

“Anugrah Alam adalah untuk dinikmati bukan di hancurkan”

Wednesday, July 2, 2008

Sebuah Mimpi


Diary, May 19, 2008


Aku terbangun pagi ini dengan suasana yang hambar, udara pagi yang seharusnya segar pagi ini terasa kotor. Ku buka selimut malamku dengan teriakan yang menyengat hati. Alam Timor Leste seakan tidak bersahaja. Aku terusik dengan orang-orang yang membuatku ingin sekali berontak.

Aku sadar di sini hanya satu tahun dan aku sadar bahwa “kemalangan” ini akan terbias dalam hitungan bulan.

Tapi apa aku yakin?
Entahlah………………….

Ku usap mataku dengan kegelisahan yang akan menemaniku sepanjang hari. Tapi aku yakin aku akan melewati semuanya ini, tinggal bagaimana aku harus mengkuti arus.

Aku teringat beberapa minggu yang lalu, aku mempunyai mimpi. Mimpi yang mungkin tidak sembarang orang miliki.

Dari sebuah e-mail yang aku dapat dari temanku, aku akan diundang ke Amerika lagi.

Jujur saja aku sangat sangat bahagia, emosiku mungkin bisa meledak sampai ke ubun-ubun. Aku mulai membayangakan dan menikmati akan apa yang akan aku lakukan di sana. aku sungguh merekah.

Setelah e-mail itu aku mulai tahu kemana arah jalanku setelah satu tahun ini. Aku mulai meyadari bahwa aku bisa bermimpi, mimpi yang aku tau tidak mudah.

Namun, suatu keajaiban terjadi dalam kehidupan mimpi ku.

Hentakan halilintar meggoncangkan bangunan kecil yang aku bangun untuk mimpiku.

Ketika itu aku mencoba berbagi dengan teman lamaku –sahabat sekaligus kakak-.

Aku begitu semangat bercerita tentang hariku, tentang matahari yang akan terbit di atas kepalaku. Kukatakan kepadanya bahwa aku akan kembali ke Amerika, aku katakan ini adalah mimpi besarku.

Sahabatku merespons dengan sangat santai, aku sedikit ragu akan perkataannya, tapi sudahlah, keraguan itu kututup dengan rasa exiting ku. Aku terus bercerita sampai aku megatakan

“Itu mimpiku”.

Namun sayang, suatu keajaiban melumpuhkan setiap sarafku.

“Kenapa kamu sekarang berorientsi pada UANG”

Kata itu keluar dari mulut seseorang yang telah menjadi partnerku di sepanjang jalan ini. Sontak aku terkagum dengan keajaiban yang ia buat, keajaiban yang aku tidak pernah harapkan.

Kini aku mengerti bahwa terkadang teman pun dapat melumpuhkan setiap angan dan mimpi kita.

Sejenak aku membayangkan hidupku sekarang seperti robot yang diatur seseorang. Namun satu hal yang aku pegang, bahwa mungkin mimpi itu tidak tepat untuk ku, atau mungkin akan mendatang kan malapetaka dalam sisa hidup ku. Dan aku sadar mungkin Tuhan punya rencana yang indah buatku kelak.

Sobat… ketika kita mempunyai mimpi yakin atau tidak yakin kita akan di hadapapkan pada suatu pilihan dan pilihan itu lah yang menjadikan mimpi dan hidup kita terasa berharga.

“Terima kasih buat pelajaran yang telah kau berikan”

Teruntuk my brother, Ed_

Short Trip To Freedom


Diary, April 11th, 2008

Matahari belum menampakkan secercah cahaya

Embun pagi yang melekat di setiap rumput belum puas menikmati dinginya udara.

Secarik impian perjalanan terlewat dari mimpiku,

Aku berdiri di antara pintu yang bediri dengan kokoh dengan sanggahan tembok berwarna putih. Ku amati setiap udara yang keluar dari setiap nafasku, kulihat udara keluar dari mulutku seperti uap air yang mendidih, tapi ini bukan karena panas, tapi karena suhu dingin yang melingkupi ku saat ini.

“San, kita berangkat jam berapa pagi ini?” tanyaku pada seorang teman yang baru keluar dari kamar mandi.

“tenang saja, kita pasti berangkat, jam 8 dari sini, juga bisa.” Gadis itu bilang sambil memegang handuk yang ia kenakan sebagai penutup tubuhnya.

“OK” jawabku.

Aku segera mengambil air dan mandi, dalam ketelanjangan aku merasakan setiap tetes air menyemtuh setiap pori-pori kulitku tidak ada yang tersembunyi dari sentuhan air pagi ni. Kurasakan setiap tulangku menggigil karenanya. Sejenak aku tertegun akan pemikiran apa yang akan aku lakukan ketika aku sudah sampai di Atambua (Indonesia), apa yang akan terjadi, apakah akan senyaman ini,tapi yang jelas aku harus kesana, kerana visa ku habis, dan harus di perpanjang.

“Fik, bias ngak beli noodle” Tanya Santi padaku.

“Boleh tapi uangnya di bawa sama Mbak Yuni ya.” Jawabku menunjukan teman satunya lagi yang sekarang ada di kantor.

Tak beselang lama, aku makan noddle yang dimasak Santi dan menikmati “molen” yang menjadi dupa wajib bagi perutku.

Pukul 8 tepat aku dan Santi siap berangkat, tapi sebelum itu terwujud ,Mbak Yuni, yang menjadi team leader kami meminta untuk erdoa terlebih dahulu. Dan akhirnya setelah kata “amien” di ucapkan kami pergi.

Meniggalkan rumah dan teman-teman dan juga Yancho yang menjadi anjing peliharaan kami untuk beberapa hari.

Aku dan Santi berada dalam bus ke perbatasan Timor Leste, dengan hentakan music yang tidak bisa membuat detak jantung kami berlonjak tegang. Lagu dari Mulan Jameela mebuat ku sedikit terhibur dengan irama yang benar-benar HOT.

Dalam setiap perjalanan, pasti ada pemberhentian, dan sekarang kami berhenti di salalah satu penjagaan, empat kali seingatku, dan semuanya itu hanya melihat paspor dan ID lain. Dalm perjalaan itu juga, diriku baru merasa sedikit bebas, tidak tahu kenapa, mungkin kerana sudah 3 bulan aku di dili(Timor Leste), itu membuatku seperti orang linglung, disamping terasa asing dan aneh tapi yang jelas sekarang aku dan Santi berdiri di tenggah perspishan antara Timor leste dan Indonesia, salangkah lagi aku akan ada di tanah airku.

Rasa bebas menyelimuti relung jiwaku, menyusup setiap sendi-sendi dalam rongga dadaku.

Berjalan melewati perbatasan membuatku merasa “BEBAS”, entah kenapa namun yang jelas bahwa rasa ini seakan membuat hati melonjak.

Bayangkan, selama tiga bulan tidak bisa kontak dengan keluarga, tidak bisa nonton TV, tidak bisa jalan-jalan, merasa terancam oleh kriminalitas kaum muda di sekitar rumah dan yang paling parah tidak ada hiburan untuk di nikmati.

Kebebasan ini,……………

Mungki dapat ku katakan rasa dari nasionalisme, tapi entahlah, yang jelas aku sudah bebas, walaupun bebas hanya 2 minggu.

Aku melanjutkan perjalanan ke Atambua dengan Ojeg. Ketika dalam perjalanan, kurasakan usadara negriku menyentuh setiap lapisan kulit ku, kurasakan arti sebuah kebebasan, bebas dari rasa takut dan keterasingan. Dan yang membuatku merinding adalah BENDERA INDONESIA yang berkibar di salah satu ruas jalan menuju Atambua.

Namun satu hal yang aku pelajari, bahwa ada kalanya hidup kita dalam suatu kurungan dan setelah itu barulah kita dapat meresakan kebebasan. Dan di balik semuanya itu kita akan menysyukuri akan kebebasan kita itu.

“Kebebasan adalah satu hal yang berharga, maka syukurilah”