Wednesday, July 2, 2008

Short Trip To Freedom


Diary, April 11th, 2008

Matahari belum menampakkan secercah cahaya

Embun pagi yang melekat di setiap rumput belum puas menikmati dinginya udara.

Secarik impian perjalanan terlewat dari mimpiku,

Aku berdiri di antara pintu yang bediri dengan kokoh dengan sanggahan tembok berwarna putih. Ku amati setiap udara yang keluar dari setiap nafasku, kulihat udara keluar dari mulutku seperti uap air yang mendidih, tapi ini bukan karena panas, tapi karena suhu dingin yang melingkupi ku saat ini.

“San, kita berangkat jam berapa pagi ini?” tanyaku pada seorang teman yang baru keluar dari kamar mandi.

“tenang saja, kita pasti berangkat, jam 8 dari sini, juga bisa.” Gadis itu bilang sambil memegang handuk yang ia kenakan sebagai penutup tubuhnya.

“OK” jawabku.

Aku segera mengambil air dan mandi, dalam ketelanjangan aku merasakan setiap tetes air menyemtuh setiap pori-pori kulitku tidak ada yang tersembunyi dari sentuhan air pagi ni. Kurasakan setiap tulangku menggigil karenanya. Sejenak aku tertegun akan pemikiran apa yang akan aku lakukan ketika aku sudah sampai di Atambua (Indonesia), apa yang akan terjadi, apakah akan senyaman ini,tapi yang jelas aku harus kesana, kerana visa ku habis, dan harus di perpanjang.

“Fik, bias ngak beli noodle” Tanya Santi padaku.

“Boleh tapi uangnya di bawa sama Mbak Yuni ya.” Jawabku menunjukan teman satunya lagi yang sekarang ada di kantor.

Tak beselang lama, aku makan noddle yang dimasak Santi dan menikmati “molen” yang menjadi dupa wajib bagi perutku.

Pukul 8 tepat aku dan Santi siap berangkat, tapi sebelum itu terwujud ,Mbak Yuni, yang menjadi team leader kami meminta untuk erdoa terlebih dahulu. Dan akhirnya setelah kata “amien” di ucapkan kami pergi.

Meniggalkan rumah dan teman-teman dan juga Yancho yang menjadi anjing peliharaan kami untuk beberapa hari.

Aku dan Santi berada dalam bus ke perbatasan Timor Leste, dengan hentakan music yang tidak bisa membuat detak jantung kami berlonjak tegang. Lagu dari Mulan Jameela mebuat ku sedikit terhibur dengan irama yang benar-benar HOT.

Dalam setiap perjalanan, pasti ada pemberhentian, dan sekarang kami berhenti di salalah satu penjagaan, empat kali seingatku, dan semuanya itu hanya melihat paspor dan ID lain. Dalm perjalaan itu juga, diriku baru merasa sedikit bebas, tidak tahu kenapa, mungkin kerana sudah 3 bulan aku di dili(Timor Leste), itu membuatku seperti orang linglung, disamping terasa asing dan aneh tapi yang jelas sekarang aku dan Santi berdiri di tenggah perspishan antara Timor leste dan Indonesia, salangkah lagi aku akan ada di tanah airku.

Rasa bebas menyelimuti relung jiwaku, menyusup setiap sendi-sendi dalam rongga dadaku.

Berjalan melewati perbatasan membuatku merasa “BEBAS”, entah kenapa namun yang jelas bahwa rasa ini seakan membuat hati melonjak.

Bayangkan, selama tiga bulan tidak bisa kontak dengan keluarga, tidak bisa nonton TV, tidak bisa jalan-jalan, merasa terancam oleh kriminalitas kaum muda di sekitar rumah dan yang paling parah tidak ada hiburan untuk di nikmati.

Kebebasan ini,……………

Mungki dapat ku katakan rasa dari nasionalisme, tapi entahlah, yang jelas aku sudah bebas, walaupun bebas hanya 2 minggu.

Aku melanjutkan perjalanan ke Atambua dengan Ojeg. Ketika dalam perjalanan, kurasakan usadara negriku menyentuh setiap lapisan kulit ku, kurasakan arti sebuah kebebasan, bebas dari rasa takut dan keterasingan. Dan yang membuatku merinding adalah BENDERA INDONESIA yang berkibar di salah satu ruas jalan menuju Atambua.

Namun satu hal yang aku pelajari, bahwa ada kalanya hidup kita dalam suatu kurungan dan setelah itu barulah kita dapat meresakan kebebasan. Dan di balik semuanya itu kita akan menysyukuri akan kebebasan kita itu.

“Kebebasan adalah satu hal yang berharga, maka syukurilah”

No comments: